Di Indonesia membaca doa qunut shubuh identik dengan kelompok agama Islam tradisional, baik itu Nahdhotul Ulama (NU), Nahdhotul Wathan (NW), dan yang sejenis. Kata “tradisional” di sini tidak berarti kolot. Tradisional yang dimaksud adalah Islam yang berjalan menurut tradisi besarnya yang dilakukan secara turun temurun.
Secara tradisional Islam di Indonesia menganut madzhab Syafi’i, salah satu madzhab dalam Islam Sunni. Madzhab ini dianut oleh mayoritas umat Islam di Asia Tenggara. Selain di Indonesia madzhab ini dianut juga oleh muslim Malaysia, Singapura.
Syafi’i menjadi madzhab dominan di kepulauan Nusantara kemungkinan karena interaksi langsung antara muslim Indonesia dengan Mekah-Madinah pada abad 19 dan awal abad ke-20. Pada waktu itu muslim di kawasan Mekah mayoritasnya menganut madzhab Syafi’i. Baru setelah ekspansi Ibnu Saud di kawasan tersebut maka Mekah berubah bermadzhab Hambali, madzhab resmi yang dianut oleh kerajaan Saudi Arabiah.
Banyak ulama dari Indonesia yang menimba ilmu di Mekah. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tokoh disana. Kita bisa menyebut nama seperti Khatib Syambasi, Khatib Minankabawi, Nawawi Albantani, Mahfudz Attirmasi.
Keberadaan mereka disana menambah besar minat ulama nusantara untuk pergi kesana dan menetap, entah untuk sementara atau untuk selamanya, dan belajar kepada ulama-ulama Indonesia di Mekah. Kita bisa menyebtu nama-nama seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Wahab Hasballah, dll.
Baca juga: Doa Qunut Shubuh dan Man Jadda Wajada dalam Beribadah Ramadhan
Selain menguatnya Islam tradisional, di era tersebut muncul juga kelompok pembaharu, baik yang beraliran modernis maupun yang revivalis atau salafi. Kelompok ini kemudian tidak selalu mengikuti madzhab mayoritas, yaitu syafii.
Diantara kelompok ini adalah Muhammadiyah yang lahir pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan terpengaruh oleh pemikiran pembaharuan Islam Muhammad Abduh. Pemikiran Muhammad Abduh ini sampai kepada ulama-ulama indonesia di Mekah melalui Syaikh Khatib Minankabawi. Imam Masjidil Haram tersebut terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh kecuali dalam soal Madzhab. Menurutnya madzhab masih relevan.
Pada awalnya Muhammadiyah masih mengikuti madzhab Syafii. Tapi lama kelamaan Muhammadiyah memisahkan diri dari madzhab mayoritas.
Karena berbeda dari madzhab mayoritas inilah maka amalan ibadah Muhammadiyah sedikti berbeda dengan NU yang masih memegang teguh syafiahnya.
Salah satu perbedaan adalah dalam soal membaca doa qunut sholat shubuh.
Tapi kalau ada orang Muhammadiyah yang tetap qunut shubuh juga tidak masalah, karena pendirinya KH Ahmad Dahlan melakukannya.